Mengingat Tuhan
Pada suatu hari bulir-bulir beras datang menghadap Tuhan dan berkata, “Tuhan semesta alam, aku adalah makanan pokok manusia, mengapa Engkau tidak menciptakan aku sedemikian agar manusia dapat lansung menyantapku? Mengapa mereka harus terlebih dahulu menanam, menyiangi, memanen, dan menanak menjadi nasi barulah mereka dapat menyantapnya? Bukankah semua ini suatu pemborosan waktu dan tenaga saja?”
“O, tentu bukan pemborosan,” jawab Tuhan. “Aku memang menghendakinya demikian demi kebaikan manusia dan kebaikanmu sendiri.” Buru-buru bulir padi menimpali, “Kok bisa?”
Kata Tuhan lagi, “Aku membuatmu tidak dapat langsung dimakan manusia agar engkau tidak berkeliling menyombongkan dirimu bahwa engkaulah satu-satunya yang dapat memberi kehidupan dan kekuatan kepada manusia atau dengan sombong mengumumkan bahwa tanpa dirimu tak seorang pun dapat makan. Manusia tidak dapat begitu saja memetik bulir-bulirmu dan memakannya. Mereka harus menanaknya terlebih dahulu menjadi nasi. Dan untuk melakukan itu mereka membutuhkan api, air, dan tangan-tangan mereka.”
“Bagi manusia sendiri,” lanjut-Nya, “Tidak baik bagi mereka untuk menemukan makanan yang sudah siap santap di atas meja. Mereka harus terlibat dalam menghasilkannya. Mereka harus membajak, menabur, menyiangi, menyirami, memanen, dan menanaknya menjadi nasi. Itu baik bagi manusia karena membuat mereka merasa bahwa mereka bergantung kepada-Ku” (ide cerita oleh Willi Hoffsuemmer).
Kita belajar dari cerita ini untuk mengingat Tuhan, Sang Pemberi makanan, bahwa makanan itu berkat dari Tuhan. Barangkali kita memang tidak perlu menebar benih, menyiangi, memanen, bahkan menanak nasi pun tidak. Makanan selalu siap terhidang di atas meja. Tetapi bahwa makanan itu ada, bukan tiba-tiba ada seperti sulap, sim salabim. Ada orang-orang yang mengerjakannya. Kita belajar menghargai orang-orang di belakang sepiring nasi yang kita makan setiap hari. Bagaimana mereka bersusah payah menyediakannya bagi kita.
Setiap kali kita makan marilah kita mengingat barang sejenak bahwa tersedianya makanan ini memiliki perjalanan panjang, menghargai mereka, dan tentu menghargai Sang Pencipta. Kecuali itu kita juga belajar untuk tidak membuang-buang makanan dan makan secukupnya. Itulah makna doa, “Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” Bukan sekadar berkat yang kita minta, melainkan utamanya dengan rendah hati mengakui Dia, Sang Pemberi berkat. Bahwa tanpa-Nya, tidak mungkin kita mendapat makanan tiap-tiap hari. —Liana Poedjihastuti
* * *
Sumber: KristusHidup.com, 6/6/12 (diedit sedikit sekali)
==========