BLOG INI pada awalnya berisi Kutipan / Kata Mutiara / Kata-kata Bijak (quotations), Ringkasan (summaries), dan Pemahaman (insights). Dalam perkembangan selanjutnya diisi dengan artikel-artikel singkat. Silakan klik di sini... untuk kembali ke BLOG UTAMA.

14 Juni 2012

Halaman Kehidupan

Putri Sayako yang akrab dipanggil Putri Nori, anak perempuan satu-satunya Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko, memilih untuk meninggalkan istana. Ia memutuskan menikah dengan Yoshiki Kuroda, seorang pemuda rakyat biasa, bukan dari kalangan kerajaan.

Menikah dengan warga kebanyakan membuat Sayako kehilangan perlakuan istimewa sebagai keluarga kaisar Jepang. Ia harus menghadapi kehidupan di luar istana. Ia kehilangan gelar bangsawan, tunjangan kerajaan, dan wajib membayar pajak.

Saat meninggalkan istana, Sayako memperoleh semacam “emas kawin” dari negara sebesar 1,2 juta USD. Satu hal yang membuatnya melangkah ringan adalah restu kedua orangtuanya. Kaisar juga memastikan bahwa hubungan keluarga mereka takkan pernah berubah.

Tetapi Sayako yang tidak lagi bisa kembali ke istana. Ia tidak bisa menjadi duta negara, tidak bisa menerima kunjungan tamu kenegaraan, dan tidak bisa mewakili istana berkunjung ke negara-negara sahabat. Sayako memilih meninggalkan istana untuk memulai kehidupan baru sebagai rakyat biasa, dan kini dia dikenal sebagai Sayako Kuroda.

Kisah Sayako mengingatkan kita bahwa menjalani kehidupan ini seperti membaca sebuah buku, kita harus berpindah dari satu halaman ke halaman berikutnya. Dari halaman kehidupan yang telah kita tinggalkan, kita memasuki halaman kehidupan yang baru. Setiap kali kita meninggalkan kehidupan lama menuju yang baru, kita harus melepaskan yang lama.

Sudah pasti setiap halaman kehidupan selalu memiliki tantangan yang berbeda, tetapi kita tidak perlu takut, kita bisa belajar dari Daud, nasihatnya: “Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang.”

Ya, jika kita selalu berserah dan berpaut kepada Tuhan, niscaya sukacita dan damai sejahtera merahmati hidup kita. —Agus Santosa

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 14/6/12 (dipersingkat)

==========

06 Juni 2012

Mengingat Tuhan

Pada suatu hari bulir-bulir beras datang menghadap Tuhan dan berkata, “Tuhan semesta alam, aku adalah makanan pokok manusia, mengapa Engkau tidak menciptakan aku sedemikian agar manusia dapat lansung menyantapku? Mengapa mereka harus terlebih dahulu menanam, menyiangi, memanen, dan menanak menjadi nasi barulah mereka dapat menyantapnya? Bukankah semua ini suatu pemborosan waktu dan tenaga saja?”

“O, tentu bukan pemborosan,” jawab Tuhan. “Aku memang menghendakinya demikian demi kebaikan manusia dan kebaikanmu sendiri.” Buru-buru bulir padi menimpali, “Kok bisa?”

Kata Tuhan lagi, “Aku membuatmu tidak dapat langsung dimakan manusia agar engkau tidak berkeliling menyombongkan dirimu bahwa engkaulah satu-satunya yang dapat memberi kehidupan dan kekuatan kepada manusia atau dengan sombong mengumumkan bahwa tanpa dirimu tak seorang pun dapat makan. Manusia tidak dapat begitu saja memetik bulir-bulirmu dan memakannya. Mereka harus menanaknya terlebih dahulu menjadi nasi. Dan untuk melakukan itu mereka membutuhkan api, air, dan tangan-tangan mereka.”

“Bagi manusia sendiri,” lanjut-Nya, “Tidak baik bagi mereka untuk menemukan makanan yang sudah siap santap di atas meja. Mereka harus terlibat dalam menghasilkannya. Mereka harus membajak, menabur, menyiangi, menyirami, memanen, dan menanaknya menjadi nasi. Itu baik bagi manusia karena membuat mereka merasa bahwa mereka bergantung kepada-Ku” (ide cerita oleh Willi Hoffsuemmer).

Kita belajar dari cerita ini untuk mengingat Tuhan, Sang Pemberi makanan, bahwa makanan itu berkat dari Tuhan. Barangkali kita memang tidak perlu menebar benih, menyiangi, memanen, bahkan menanak nasi pun tidak. Makanan selalu siap terhidang di atas meja. Tetapi bahwa makanan itu ada, bukan tiba-tiba ada seperti sulap, sim salabim. Ada orang-orang yang mengerjakannya. Kita belajar menghargai orang-orang di belakang sepiring nasi yang kita makan setiap hari. Bagaimana mereka bersusah payah menyediakannya bagi kita.

Setiap kali kita makan marilah kita mengingat barang sejenak bahwa tersedianya makanan ini memiliki perjalanan panjang, menghargai mereka, dan tentu menghargai Sang Pencipta. Kecuali itu kita juga belajar untuk tidak membuang-buang makanan dan makan secukupnya. Itulah makna doa, “Berilah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” Bukan sekadar berkat yang kita minta, melainkan utamanya dengan rendah hati mengakui Dia, Sang Pemberi berkat. Bahwa tanpa-Nya, tidak mungkin kita mendapat makanan tiap-tiap hari. —Liana Poedjihastuti

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 6/6/12 (diedit sedikit sekali)

==========

Posting Terbaru

Langganan Updates

Untuk berlangganan updates semua blog berbahasa Indonesia saya, silakan isi formulir di BLOG UTAMA.

NB: Satu formulir untuk semua blog.

Pemilik Blog

Foto saya
• Infopreneur, Online Publisher
• Penerjemah buku Retire Young Retire Rich karya Robert T. Kiyosaki & Sharon L. Lechter, dan banyak buku lainnya.